Friday, August 14, 2009

RAHASIA WAKTU

Dia datang menghampiri dengan seraut wajah tak berbentuk
Ku tatap dengan penuh arti namun tak ada jawaban
wajahnyapun tetap tak berbentuk
Ketika dia menyapa dan pergi,
kusadari bentuk wajah itu...
oh betapa hidup tidaklah sempurna,
hanya doa yg selalu ada dalam hati,
agar ketika Dia datang sejenak karena cinta_Nya,
kupasrahkan hidupku dan matiku...
Sejenak kembali kuberpikir,
Dia adalah sang waktu...



Wednesday, August 12, 2009

SELINGKUH

Asmaranya gincu
Belepotan memulas tampang naas mu
dengan rapelan hutang dan label harga harga
sayangnya,
tercecer ditiap mesin kassa
mengeruk periuk dapurmu saban hari
Hingga tak terkira betapa makmur ia
berenda Gucci, Versace dan Calvin klain


bangkrut bukan buatan
kawan
selepas ia lalu
anak binipun meninggalkanmu

Thursday, August 6, 2009

MENGENANG W.S. RENDRA


Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935; umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan juga Bengkel Teater Rendra di Depok. Semenjak masa kuliah beliau sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.

Masa kecil
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya itu


Pendidikan
* TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
* SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
* Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
* mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Rendra sebagai sastrawan
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Bengkel Teater
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.

Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan
* Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
* Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
* Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
* Hadiah Akademi Jakarta (1975)
* Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
* Penghargaan Adam Malik (1989)
* The S.E.A. Write Award (1996)
* Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Beberapa karya
Drama
* Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
* Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
* SEKDA (1977)
* Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
* Mastodon dan Burung Kondor (1972)
* Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
* Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
* Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
* Lisistrata (terjemahan)
* Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
* Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
* Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
* Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
* Panembahan Reso (1986)
* Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)

Sajak/Puisi
* Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
* Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
* Blues untuk Bonnie
* Empat Kumpulan Sajak
* Jangan Takut Ibu
* Mencari Bapak
* Nyanyian Angsa
* Pamphleten van een Dichter
* Perjuangan Suku Naga
* Pesan Pencopet kepada Pacarnya
* Potret Pembangunan Dalam Puisi
* Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
* Rick dari Corona
* Rumpun Alang-alang
* Sajak Potret Keluarga
* Sajak Rajawali
* Sajak Seonggok Jagung
* Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
* State of Emergency
* Surat Cinta

Tuesday, August 4, 2009

MALAM [PAGI] INI, SEPERTI YANG LALU

Malam [pagi] ini, seperti yang lalu
Aku sendiri….
Berpuluh purnama, kau telah pergi
Berpuluh purnama, aku sendiri.

Malam [pagi] ini, seperti yang lalu
Aku disini ….
Di tempat ini, kau ucap janji, suci
sebelum kau pergi.


Malam [pagi] ini, seperti yang lalu
Kupejam mata, tapi tak kuasa
Kubunuh bayang, tak mau sirna
Aku slalu terjaga.

Malam [pagi] ini, seperti yang lalu
Aku menunggu, kalau masih ada waktu

Malam [pagi] ini, seperti yang lalu
Kuharap segera berlalu.


Irawan Noorcy, Surabaya,170309. 03:39

BAIT CINTA BUAT SANG BUAH HATI

Wajahnya terpancar begitu bercahaya laksana sinar Sang Surya
Memberikan nuansa warna warni pelangi
Canda tawanya begitu renyah
Mengalirkan hawa kesejukan dalam hati setiap insan


Ingin ku “curi hatinya”, agar dia selalu tersenyum padaku
Ingin ku “manja”, agar dia selalu ceria
Ingin ku “dekap”, agar dia tidak hilang dari pandanganku
Ingin ku “jaga”, agar dia tidak terjatuh dari lembah kelamnya dunia

Duhai buah hatiku...
kutak mampu melihatmu sedih
Kutak mampu melihatmu terluka
Kusenandungkan bait-bait cinta disetiap waktu peranjakanmu
Agar kamu memiliki sejuta kasih yg tidak lekam oleh waktu

Sunday, August 2, 2009

AKU MASIH INGAT

Aku masih ingat saat kau datang membawa keplamu,
kau terlihat kokoh tapi rapuh
dan aku masih ingat saat itu kau buang jantungmu,
saat itu aku tanya kenapa kau lakukan itu
kau bilang kau tak butuh lagi detak kehidupan,


aku masih ingat kau menyerahkan hatimu pada binatang buas
dan aku terkejut untuk apa kau lakukan itu,
sambil tesenyum kau jawab
''hati,jantung,semua tak berarti bagiku sat aku berjalan menggunakan kepalaku''
aku masih ingat saat itu kau tertatih menyeret kepalamu.

Saturday, August 1, 2009

04:30


ketika waktu itu kejora pada titik yang terindah
halimun menyelimuti embun pagi
sesegar aroma mentari merekahkan senyumnya
dan rinai ombak membayu membelaiku tersipu


sentuhan halus bayang – bayang semu mengusapku
hangat mengusik begitu saja
dan ketika ujung mata sejenak terpejam
sekilas ingin kuhalangi waktu
agar kerinduan itu takkan terlahir
yang sekiranya dapat menumbuhkan rasa sesak
disini hingga akhir hamparan lembayung senja
suntuk masih bersetubuh denganku

Friday, July 31, 2009

AJARI AKU MENANGIS

Saat azan subuh menyapa, aku membuka mata.
Perih...

Aku tau baru saja mimpi buruk.
Namun ternyata ini bukan sekedar mimpi.
Perih...


Ajari aku menangis, sehari ini.
Lalu jika malam menjelang, ingatkan aku untuk melupakan bagaimana cara menangis.
Ajari aku menangis, agar terbuang tanya, terbuang perih.
Dan apabila malam menjelang, ingatkan aku untuk berhenti menangis.
Lalu esok hari, aku menjadi dingin lagi, menutup luka baru ini.
Ajari aku menangis..
Sebelum aku benar benar tak mampu untuk menangis lagi.

Thursday, July 30, 2009

PERJALANAN YANG TAK BERAKHIR

Langit tak mendung, kamipun berharap matahari belum pergi. Seorang kawan masih terbaring. Mungkin kelelahan sedang tunjukkan egoisnya hingga ia tak kuasa melawan. Mungkin juga Tuhan berinya waktu sejenak agar ingat cintanya pada dirinya tak boleh terlupakan. Kami harap itu hanya sejenak, kemudian ia kembali lukiskan jejak perjalanannya.


Tetes-tetes kata yang terkumpul, terangkum sudah dalam kolam kami. Nanti atau kelak, tetes-tetes itu kan obati dahaga para pencari makna. Hingga dapat dilihatnya cinta, luka, hampa, bahagia, resah, Tuhan, hati, dan mimpi.

Langit biru itu masih terlampau luas, belum mampu ditutupi awan-awan gelisah. Seperti yang kita yang tidak akan mampu lengkapi rindu akan rasa. Para pencari akan terus resah, lalu menjelajah semua jengkal cerita. Dan semua tak mungkin hanya berakhir di sini.

EUFORIA KATA-KATA


kumohon pada pena...

temani aku menyiram kata malam ini
agar menjadi sebuah sajak
yang rindang esok hari


di ujung lidah
pesta pora katakata
di mata pena
gerak riuh tarian makna
di piring kertas asah
terjawab sudah tanya dada
dan di dagumu yang aduhai
sepenggal kisah menawarkan asa

Monday, July 27, 2009

PUISI TANPA NAMA

berikan aku satu cerita yg indah,
dan lukiskan aku pemandangan yg cantik
tapi goresn itu tanpa nama,

kan ku rangkai kata dengan jalinan merdu kisahmu,
tapi goresan itu tanpa nama,


saat aku menghilang,saat aku tak ada jangan panggil namaku,
karna aku tak punya nama,

bait-bait untaian puisi itu menyuruhku berhenti sejenak,
berikan aku nama,biar semua orang bisa memanggilku dan menyebut
namaku,

saat aku melahirkanmu ku berikan kau nama
puisi tanpa nama.

by : Putu Wirawati

RINDU


Ada hitam di balik pintu
dan bulan tersenyum malu

Terbalut kenangan berkotak-kotak
di dasar ini aku berpijak

Enam jam kita terpisah
jutaan menit berlalu resah


Kapankah engkau akan berpaling
dari hati yang terus menuding

Mungkin tangan dan kakimu bebal
bukan engkau yang menanggung sesal

Takkan cukup senyum lugumu
tuk melihat darah dikakimu

Jangan melagukan pelangi
karna engkau tak berhati

By : Dewi Puspita-Swiss 26 juli 2009

Monday, July 20, 2009

IRAMA CINTA DALAM SETETES EMBUN


Embun menyapa daun memberi kesejukan tanpa melekat
sang daun sadar kesejukan bukanlah miliknya
hingga tak cukup alasan baginya untuk menahan embun untuk tetap tinggal

hukum jatah tempo membatasi perjumpaan embun dan daun
hingga mereka memilih belajar 'tau diri',
menikmati sinergi sesuai jatah tanpa ada sesal


ikhlas mengiring ketika nikmat sinergi harus berlalu.
Ikhlaslah yang kan menggenapi guna embun
membasahi tiap detil pori daun
memberinya hidup

embun mengantar daun bertumbuh
Demikianlah cinta yang telah berjumpa
bermuara pada kedalamannya
cinta yang beriringan dalam jalan tumbuh

BY : Chindy Tan

SALAM DUKA INDONESIA

Dalam langit yang mendadak mendung,
Dalam mega gelap bersinambung
Hujan gerimis baru saja turun.

Wajahmu menyiratkan duka.
tak seperti biasa kau sedikit murung.

Ibu:
Tak usah....
tak usah larut dalam duka
Ini hanya sementara saja,
Biar badai langit mengamuk gaduh,
melukai wajahmu yang imut,
Cintaku tak kan luntur dan hanyut.


(Mudah-mudahan hujan air mata
tak terlalu lama mengguyur.

Aku masih disini,
tak kan pergi
menemanimu,
berkabung.


Salam duka Ibu Pertiwi,
Pagi ini: 17/7/2009
Dari: Anakmu.........
-------------------------------------------------------------

Mungkin ada hati yang merindu kehancuran
Memanggil kembali angin kemusnahan
Tanpa peduli bukan ia yang ciptakan manusia
Bukan dia pula pemilik takdir dan jiwa

Lalu apa yang tersisa...

Harapan yang musnah
Mimpi yang berakhir
Juga kenangan tentang yang takkan kembali
Menjerumuskan kembali Indonesia yang baru bangkit
Yang baru saja menangkap percaya

Bersabar kembali
Mungkin nanti
Kita akan bangkit lagi

By : Harapan
-------------------------------------------------------------

air matamu belum kering,
ketika terakir kali kau berteriak kesakitan minta tolong,
saat terakir kau genggam tanganku
ku rasakan jutaan kehangatan mengalir deras di kalbuku,
saat di akhir perpisahan sempat aku ucapkan kau akan kokoh dan kuat,
tapi tak selang lama aku pergi kenpa kau menjerit lagi,
KENAPA?
apa belum cukup semua penderitaan yg kau gendong,ibu......
aku akan kembali memeluk kau dan air matamu,
aku percaya kau akan bangkin seperti leluhurku yg selalu mennyerukan namamu
Indonesia......

By : Putu Wirawati
-------------------------------------------------------------

sejak dulu katanya mati
sejak dulu katanya muram
sejak dulu katanya bungkam
sejak dulu katanya lesu
sejak dulu hanya itu, itu dan itu saja
dan sejak dulu.............sebetulnya kita belum merdeka

By : Gie Wahyoe
-------------------------------------------------------------
Untuk teman-teman yang ingin mengungkapkan salam dukanya pada Indonesia, silahkan kirim puisi anda ke puisi.air@gmail.com

Salam Puisi Air

Thursday, July 16, 2009

MENDEKAP ENGGAN

Dinding ini begitu rapuh
Saat tersentuh pun akan lapuk
Selapuk cinta yang kudekap darimu

Kisah ini menggumam lelah
Saat bercerita pun akan bisu
Sebisu perasaan yang berteriak dalam hati ini

Semua ini bisa terhempas
Saat punggungmu mengecil dari tempatku terdiam
Semua ini bisa terlepas
Saat tanganmu menggenggam yang lain
Bukan malaikat tanpa sayap ini...


Di atas sana langit membentang lukisan itu
Tapi senja ini terkunci di dalam hati...
Meski mampu terlepas dari ruang yang menunggumu
Biarkan aku terkunci di sini
Biarkan aku terhunus waktu di sini
Untuk mengganti sedalam luka
Dariku pada hatimu

Di ruang ini
Dalam dinding rapuh yang berkisah tentang kita
Biarkan aku mendekap enggan
Enggan untuk membencimu...
Enggan untuk berhenti mencintaimu...
Enggan untuk melupakan semua...
Enggan untuk terlepas dari waktu...
Biarkan aku, cinta ini, dan hati yang mati ini
Terhunus waktu di sini
Hingga sayapmu mendekap...
Raga malaikat tanpa sayap...

*mEmILIH untuk tidak mencintai orang lain dan memilih untuk mencintai hanya satu orang, enggan untuk berhenti menunggu dan mencintai...*

By : himangel_lawliet

Saturday, July 11, 2009

SAJAK SEORANG PEMIMPIN

Mereka beradu
melicinkan daging dimulutnya
Berdialog melewati angin dan
Sepucuk surat tanda cinta yang
Berbicara tentang gedung dan jalan raya

Mereka
Yang bersajak mesra nan gurih riuh
Menawarkan selaut madu dan susu
Sedang batu batu
Hanya mereka buang kala di belakang layar


“Gunung gunung tumbuh di semak belukar
Pohon anggrek menjalar sudut sudut perkampungan
Padang sabana tergelar di halaman halaman
Permata menjadi hujan yang dirindukan”

Adakah mereka seperti itu?
Tanya pemulung jalanan yang menangkap sajaknya.

Sajak tetaplah sajak
Sungai tetaplah sungai
Tak bisa ia berubah menjadi laut
Yang menjanjikan kenikmatan di dalamnya

Mereka
Yang selalu melambaikan lentik lentik jemari
Kala matahari telah nampak seutuhnya
Berkomat kamit bak dukun menuang mantra
Berdendang lagu rindu di tengah terik
Merdu sana, merdu sini
Seperti gerimis yang datang di tenda perkemahan

Mereka beradu
Sajak madu dan susu muncul beribu ribu
Akal berterbangan melayang layang
Menjadi runyam di tengah gerombolan telinga


Friday, July 10, 2009

MENGENAL PUJANGGA, KAHLIL GIBRAN


You may tie my hands with chains, and my feet with shackles, and put me in the dark prison, but you shall not enslave my thinking, for it is free, like the breeze in the spacious sky...


Kahlil Gibran lahir di Basyari, Libanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat sejak tahun 1898 sampai 1901.
Foto Kahlil Gibran oleh Fred Holland Day, skt. 1898.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Amerika Serikat


Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Karya dan kepengarangan

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Kematian

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

Thursday, July 9, 2009

KAMI MENANTI

Indonesia memulai permainan lagi. Mulai melangkah ke awal yang baru atau malah melanjutkan yang lama. Semua tergantung kartu mana yang akan dibuka sebagian besar rakyat ini. Kita akan menanti... menebak jalan yang kan ditemui.

Di sini hari tak ikut larut dalam pilihan. Angin memilih diam ketika mentari menyengat semua. Burung yang kemarin datang tak muncul. Pergikah? akankah kembali? Aku merindukannya, juga suaranya pada dunia. Untuk menemaniku merajut jalan untuk Puisi Air hari ini.


Karya delapan penulis telah diterbitkan di sini. Semoga esok ada yang kesembilan, kesepuluh dan seterusnya. Kami menanti kalian untuk mengisi ruang-ruang kosong di sini dengan karya dari hati.

Tuesday, July 7, 2009

SELAMANYA

Ragamu, serupa serpihan rembulan
terjatuh…merapuh
redupmu bergemilang hilang
meruang dermaga kisah

Menanti naluri yang berlari
temaram senja menghamba puja
mentari yang bejat telah wafat
pundakmu terdiam menikam kelam
jauh ku bersandar, terhenti ku terkapar


tetaplah di situ…
tawa telah terluka
rindu telah pilu
arti telah mati
PERGILAH…
Untuk cinta yang meniada, hampa…
SELAMANYA…
Untuk mimpi abadiku
untuk SELAMANYA YANG PERCUMA

Monday, July 6, 2009

YANG MEMBERIKU SAYAP


Aku menatap langit yang menghanyutkanku bersama awan
Di atas sebuah lautan bersama kehidupan
Saat waktu menyuruhku berhenti sesaat
Meninggalkanku tanpa sayap
Untuk belajar melihat ketiadaan


Mungkin ku kan tetap seperti itu
Andai kau tak berikan sayap untukku
Mungkin ku kan tetap bersama ketiadaan
Andai kau tak memintaku melanjutkan perjalanan

Sebuah cerita kan kutulis bersama sayapmu
Meski harus kukorbankan lagi sayap ini untuk terbang

Sunday, July 5, 2009

DAN MATI


Rebah memangku jiwa yang lelah
Tatapan bodoh menyusuri langit yang tak bercelah
Langit…
Hamparan abadi yang menanti
Kapan perasaan ini mati…

Semua luruh mengepakkan sayap penuh harap
Menukik langit yang jauhi jiwa ini
Tetap terdiam memeluk kelam
Tetap bersenandung menghitung malam
Membujuk…
Kapan perasaan ini mati…


Malaikat tanpa sayap takkan mendekap
Akhir dari langit yang berakhir
Hanya meratapi semua yang berhembus ke langit
Hanya memungut…
Reruntuhan sayap-sayap hitam yang kelam
Menanti…
Kapan perasaan ini mati…

Yang dinanti telah kembali…
Dengan elok sayapnya…
Tapi nampak malaikat bersayap hitam
Tersenyum manis,merangkul iblis…
Masihkah harus bertanya…
Kapan perasaan ini mati…

Malaikat yang dinanti telah kembali
Kembali, tepat di sini…
Tapi kembali tanpa hati…
Hati yang berjanji akan abadi tanpa mati…
Hati yang menyentuh jiwa ini…
Hati yang melebur mimpi dan abadi…
Hati yang meredup…
Dan mati….

Friday, July 3, 2009

DUA SISI

Aku yang terlahir telanjang..putih tiada noda
ku awali salam tangisan menyapa dunia..
kumandang...doa..menyentuh dinding inderaku
betapa sucinya aku...
Aku tergeliat dari tidur rahim ibuku..
tak satupun yang menemani..
sendiri dan sepi..
hanya usapan lembut yang kurasa dari dinding bilikku
Oh...betapa aku ada yang tak mampu melihat
hanya sedikit yang kurasa
semampu yang kubisa
meresapi belaian kasih yang masih asing bagiku..


Peluk cium dekapan hangat dan usapan demi usapan
menyentuh kulit tubuhku..aku hanya tergeliat
inikah duniaku...
inikah dunia lain itu...???
Tempat yang akan kupijak meniti hari
meniti titian cerita hidupku..
merangkai alur-alur hari-hariku...
dan...melumuri tubuh suciku dengan dosa...
Aku tak sanggup menepis..
aku tak kuasa menolak..
dan akupun tak kuasa menghindar...
Dosa itu menumpuk daki di tubuhku
sehingga kini...
tak mampu kebersihkan diri dengan tobatpun
serta untaian - untaian doa di setiap tidurku...
Jika ku tahu..
terlahir hanya berlimpah dosa..
terlahir hanya mengotori surga ibuku..
aku sesali terlahir karena itu...

Ibu ampuni aku....

By : Ngoerah Slank

SATU CERITA

Tiada cerita tanpa kata
Seperti hidup tanpa cerita

Dan ada seorang anak menutup mata
Karena semua ia lihat hampa
Tanpa makna dan tak nyata
Karena banyak cerita ingin mengubah ceritanya
Tanpa peduli siapa sutradaranya

Melangkah pelan si anak ke dunianya
Kembali pada ceritanya
Menutup pintu untuk cerita lainnya
Agar bisa menghias cerita kecilnya
Dari hati kecilnya
Dengan tangan kecilnya

by : O_chan

Thursday, July 2, 2009

SENJA INI TAK SAMA

Menelusuri jalan yang sama
Menatap langit yang sama
Tapi kenapa perasaan ini berbeda?
”Waktu itu” langit tampak lebih tinggi
Harapan terasa begitu jauh
Terselubungi kehampaan, rapuh...
Raga ini malaikat tanpa sayap, kau tahu?
”Waktu ini” mengganti ”waktu itu”
Langit menjadi bentangan indah
Melukis elok sayapmu
Bentangan yang mendekap
Raga malaikat tanpa sayap ini...
Adakah kehangatan yang terasa sebelumnya?
Raga ini malaikat tanpa sayap
Mungkin enggan terluka, menepis cinta
Selapuk hampa terdekap enggan
Enggan untuk terluka, enggan untuk mencinta
Tapi kenapa sayapmu mendekap sekali lagi?
Mengulur enggan, memuja cinta
Mungkin cinta pertama
Mungkin cinta yang sederhana
Mungkin cinta yang takkan pernah terduga
Tapi pasti...
Pasti sayapmu yang mendekap raga ini
untuk selamanya...

Wednesday, July 1, 2009

MIMPI ORANG AUTIS

Aku tidak hidup
Aku hanya bermimpi

Aku bermimpi dan mendengar nyatanya mimpi
Dari mulut orang dalam mimpi
Katanya ini bukan mimpi

Ku bagai mengambil awan yang kukira kapas
Ternyata air lalu menguap lepas
Atau mungkin ku hanya ingin terbebas dari nyata
Yang selalu sisakan luka.

Aku ingin mau jadi autis
Yang sendiri dan ingin orang kikis
Mungkin juga ku sudah autis
Dan diriku ingin terkikis

by : O_chan

HANYA PERLU WAKTU

Untuk bisa sesuatu kita perlu waktu
Untuk bisa memaafkan orang lain kita butuh waktu
Untuk bisa dimaafkan orang lain pun kita butuh waktu
Untuk mengkoreksi segala sesuatu kita butuh waktu
Untuk menjadi yang terbaik kita butuh waktu
Untuk membuat sesuatu kita butuh waktu
Untuk menghancurkan sesuatu kita butuh waktu
Untuk menjadi sedih kita perlu waktu
Untuk menjadi bahagia kita perlu waktu
Untuk menjadi sukses kita butuh waktu
Untuk menjadi hancur kita butuh waktu
Untuk mencintai orang lain kita butuh waktu
Untuk dapat dicintai seseorang kita butuh waktu
Untuk dapat mengambil keputusan kita butuh waktu
Untuk memahami orang lain kita butuh waktu
Untuk dapat dipahami orang lain kita butuh waktu
Untuk dapat mengerti sesuatu kita perlu waktu
Untuk dapat tumbuh dewasa kita perlu waktu
Untuk bisa sembuh dari segala kesakitan kita perlu waktu
Untuk bisa sakit kita perlu waktu

Jadi..bersabarlah karena segala sesuatunya kita hanya butuh WAKTU.....

by: beltagobelgobel

Tuesday, June 30, 2009

CERITA PEMILIK MIMPI

Aku kan menjadi gila karena mimpi
Lalu tak perlu kau peduli
Meski kakiku harus tertatih
Tenggelam dalam harap terlalu tinggi

Andai kuditanya tentang mata dan hati
Aku pilih mimpi
Tempat mata tak mampu berkedip
Dan hati takkan jadi sakit
Walau menjauh dari nyata dan waktu
Namun kan kembali untuk berpadu

Tergapai...
Dengan usaha dalam senyuman
Bukan bualan dan omongan
Bukan pula dengan kodrat
Hanya dimiliki hati dan cerita tentang yang tak terjerat

By : O_chan

Monday, June 29, 2009

PERGINYA SI TUKANG KAYU

Tukang kayu itu kini telah pergi,…..
Gundukan tanah kering,
beberapa batang kayu lapuk,
dan kayu-kayu bakar yang ditumpuk
menggigil kesepian.
Serasa hilang separuh jiwa.
Atau pulang sahabat dekat.

Bunga pepaya yang selalu tersenyum,
Kini membisu.

Selama ini
Orang tua itulah yang telah merubah nasib kayu-kayu itu
Menjadi korban suci api,
Untuk istrinya berdagang nasi,
Setengah abad tanpa henti.
Menghidupi kami saban hari.

Bak malaikat,
Ia telah meng-'hidup'-i kayu-kayu itu kembali.
Walau buatmu ia tua lapuk tak ada arti.

Namun,
Sang Khalik rindu,
Beberapa hari lalu ia pergi.
Sungai bening telah menyatu lautan.
Percik api telah menyatu matahari.

*

Siang ini,
Aku melintas di sungai berbatu
Pohon rindang menari tarian waktu,
Seekor anjing putih bobok siang di lempehan batu.

Sekonyong-konyong kau datang!
Memungut sebatang ranting kayu,
Tanpa pikir kau hajar anjing itu,…
Ia tak bergerak lagi.
Mati!
Kau puas.....!
(Anjing itu telah melarikan sandal jepitmu tadi pagi)

Dan tarian waktu berlalu....

Begitulah,
kalian telah merubah nasib kayu-kayu itu,
dan menjadikan masing-masing tangan kalian,
malaikat atau pembunuh!
dari kayu yang sama.


selamat jalan...


by: Samsarik
Studio Taman Jiwa,
suatu ketika...

APA BEDANYA ?

Aku tak peduli, walau kamu tak tau
Aku tak peduli, walau kamu tak mau

Apa beda kamu tau atau tak?
Apa beda kamu mau atau tak?

Aku tak peduli kamu bilang begitu
Aku tak peduli kamu bersikap begitu

Apa beda kamu bilang atau tak?
Apa beda kamu berbuat atau tak?

Aku tak peduli, walau kamu tak melihat
Aku tak peduli, walau kamu tak merasa

Memang kamu tak pernah melihat?
Memang kamu tak pernah merasa?

Tapi,......
Apa beda kamu melihat atau tak?
Apa beda kamu merasa atau tak?
Tak ada beda !

Kamu sudah buta
Kamu sudah mati rasa.

Walaupun kamu bicara
Aku kan diam seribu bahasa.

Walau kamu merayu dengan seribu rayu
Aku kan berlalu.


$$$ Sebuah pesan untuk yang terHormat para Capres.

By : NurKholik Irawanto

Sunday, June 28, 2009

Mata Kaki Setia


Melangkah, kaki itu selalu berdua
Bersama, berdua selamanya
Tanpa kiri, kanan pun tak berguna
Puntung kanan, kiri merana

Kaki punya mata tanpa kornea
Mereka melihat, merasakan
Berjalan tak pernah terpisah
Setia, Tanpa kata, dan Percaya


by: hijaugadang
Ubud, Juni 2009

Saturday, June 27, 2009

WAKTU UNTUKKU


Nanti ketika kau tak lagi ingin kutemui
Nanti ketika aku tak mampu lagi jadi yang terbaik
Dan ketika harap ini harus melepas hatimu
Aku takkan punya apapun
Aku hanya bisa menari dalam sepiku

Nanti ketika cinta kita berakhir
Mengikuti kemauan sang takdir
Atau cinta kita kan menjadi angin
Aku takkan mampu berlari, demi mengejarnya lagi

Jika ini mimpi
Aku takkan bangun lagi
Meski hidupku jadi abadi
Dalam sepi tak bisa mati

Kan kugenggam tanganmu semasih mampu kugenggam
Kan kujaga hatimu semasih dia beriku cinta

Aku kan mencintaimu semampuku
Aku kan mencintaimu selama takdir beriku waktu.

Friday, June 26, 2009

SEPOTONG KATA

Andai kita sesederhana kata
Yang selamanya menerima makna yang melekat padanya
Namun hidup tak hanya satu kata
Bahkan untuk sekedar ungkap satu detiknya
Lalu ku menunggu kapan hidup tertidur
Agar terlihat bagaimana waktu merenung

by : O_chan

AKU TAK HANYA INGIN SURGA

Aku tak butuh surga untuk memujamu
Aku tak takut neraka karena menghujatmu
Aku bersimpuh mengalunkan doa untukmu
Bukan untuk mendapat kebahagiaan darimu

Jangan hina aku dengan kau janjikan surga
Aku lebih mencintaimu daripada surga


Jangan kira aku butuh pamrih untuk memuja
Apalagi hanya sekedar imbalan sebuah surga

Surga...
Buatku tak ada artinya
Aku berdoa hanya karena cintaku
Padamu Tuhanku

Surga...
Buatku tak bermakna
Karena aku tak butuh imbalan darimu
Aku tak butuh imbalan untuk cintaku

by : O_chan

Thursday, June 25, 2009

TENTANG KOTAMU, JOGJAKARTA

Kaukah yang memanggil tubuh dan jiwaku
yang penakut untuk datang ke kotamu
yang ternyata hangat dan menghangatkan,
itukah kau?

Anggaplah itu kau si pendongeng kelana
dari dulu kau bikinkan aku sinopsis
tentang cinta yang terlanjur melekat
bersemi di kota itu...

Dari catatan tentang sepi di sini
juga catatan-catatan kehilangan ini
kusajikan bersama resah-resah
dan igauan malam bersama sang pemabuk

Maka jika aku tak penakut lagi
ijinkan aku kembali mengunjungimu
lebih lama..


by: Salju_cantik
Jogjakarta, Mei 2009




Thursday, June 4, 2009

LAKI-LAKI DALAM HUJAN (#2)

Mimpi tadi malam belum usang
ayam berisik
buat bangun
hujan masih enggan pergi
lama sepertinya
mengganti matahari

beranjak?
diam?
masih hujan

ada yang menungguku dalam hujan
kerja yang belum tuntas
cinta yang belum terucap

hujan...
pergi segera
…. pleaaaase!


by: samsarik
2008


Followers

LANGGANAN

Kami kirim puisi kami secara gratis langsung ke email anda. Silahkan isi formulir di bawah ini untuk berlangganan

Enter your email address: