Friday, July 31, 2009

AJARI AKU MENANGIS

Saat azan subuh menyapa, aku membuka mata.
Perih...

Aku tau baru saja mimpi buruk.
Namun ternyata ini bukan sekedar mimpi.
Perih...


Ajari aku menangis, sehari ini.
Lalu jika malam menjelang, ingatkan aku untuk melupakan bagaimana cara menangis.
Ajari aku menangis, agar terbuang tanya, terbuang perih.
Dan apabila malam menjelang, ingatkan aku untuk berhenti menangis.
Lalu esok hari, aku menjadi dingin lagi, menutup luka baru ini.
Ajari aku menangis..
Sebelum aku benar benar tak mampu untuk menangis lagi.

Thursday, July 30, 2009

PERJALANAN YANG TAK BERAKHIR

Langit tak mendung, kamipun berharap matahari belum pergi. Seorang kawan masih terbaring. Mungkin kelelahan sedang tunjukkan egoisnya hingga ia tak kuasa melawan. Mungkin juga Tuhan berinya waktu sejenak agar ingat cintanya pada dirinya tak boleh terlupakan. Kami harap itu hanya sejenak, kemudian ia kembali lukiskan jejak perjalanannya.


Tetes-tetes kata yang terkumpul, terangkum sudah dalam kolam kami. Nanti atau kelak, tetes-tetes itu kan obati dahaga para pencari makna. Hingga dapat dilihatnya cinta, luka, hampa, bahagia, resah, Tuhan, hati, dan mimpi.

Langit biru itu masih terlampau luas, belum mampu ditutupi awan-awan gelisah. Seperti yang kita yang tidak akan mampu lengkapi rindu akan rasa. Para pencari akan terus resah, lalu menjelajah semua jengkal cerita. Dan semua tak mungkin hanya berakhir di sini.

EUFORIA KATA-KATA


kumohon pada pena...

temani aku menyiram kata malam ini
agar menjadi sebuah sajak
yang rindang esok hari


di ujung lidah
pesta pora katakata
di mata pena
gerak riuh tarian makna
di piring kertas asah
terjawab sudah tanya dada
dan di dagumu yang aduhai
sepenggal kisah menawarkan asa

Monday, July 27, 2009

PUISI TANPA NAMA

berikan aku satu cerita yg indah,
dan lukiskan aku pemandangan yg cantik
tapi goresn itu tanpa nama,

kan ku rangkai kata dengan jalinan merdu kisahmu,
tapi goresan itu tanpa nama,


saat aku menghilang,saat aku tak ada jangan panggil namaku,
karna aku tak punya nama,

bait-bait untaian puisi itu menyuruhku berhenti sejenak,
berikan aku nama,biar semua orang bisa memanggilku dan menyebut
namaku,

saat aku melahirkanmu ku berikan kau nama
puisi tanpa nama.

by : Putu Wirawati

RINDU


Ada hitam di balik pintu
dan bulan tersenyum malu

Terbalut kenangan berkotak-kotak
di dasar ini aku berpijak

Enam jam kita terpisah
jutaan menit berlalu resah


Kapankah engkau akan berpaling
dari hati yang terus menuding

Mungkin tangan dan kakimu bebal
bukan engkau yang menanggung sesal

Takkan cukup senyum lugumu
tuk melihat darah dikakimu

Jangan melagukan pelangi
karna engkau tak berhati

By : Dewi Puspita-Swiss 26 juli 2009

Monday, July 20, 2009

IRAMA CINTA DALAM SETETES EMBUN


Embun menyapa daun memberi kesejukan tanpa melekat
sang daun sadar kesejukan bukanlah miliknya
hingga tak cukup alasan baginya untuk menahan embun untuk tetap tinggal

hukum jatah tempo membatasi perjumpaan embun dan daun
hingga mereka memilih belajar 'tau diri',
menikmati sinergi sesuai jatah tanpa ada sesal


ikhlas mengiring ketika nikmat sinergi harus berlalu.
Ikhlaslah yang kan menggenapi guna embun
membasahi tiap detil pori daun
memberinya hidup

embun mengantar daun bertumbuh
Demikianlah cinta yang telah berjumpa
bermuara pada kedalamannya
cinta yang beriringan dalam jalan tumbuh

BY : Chindy Tan

SALAM DUKA INDONESIA

Dalam langit yang mendadak mendung,
Dalam mega gelap bersinambung
Hujan gerimis baru saja turun.

Wajahmu menyiratkan duka.
tak seperti biasa kau sedikit murung.

Ibu:
Tak usah....
tak usah larut dalam duka
Ini hanya sementara saja,
Biar badai langit mengamuk gaduh,
melukai wajahmu yang imut,
Cintaku tak kan luntur dan hanyut.


(Mudah-mudahan hujan air mata
tak terlalu lama mengguyur.

Aku masih disini,
tak kan pergi
menemanimu,
berkabung.


Salam duka Ibu Pertiwi,
Pagi ini: 17/7/2009
Dari: Anakmu.........
-------------------------------------------------------------

Mungkin ada hati yang merindu kehancuran
Memanggil kembali angin kemusnahan
Tanpa peduli bukan ia yang ciptakan manusia
Bukan dia pula pemilik takdir dan jiwa

Lalu apa yang tersisa...

Harapan yang musnah
Mimpi yang berakhir
Juga kenangan tentang yang takkan kembali
Menjerumuskan kembali Indonesia yang baru bangkit
Yang baru saja menangkap percaya

Bersabar kembali
Mungkin nanti
Kita akan bangkit lagi

By : Harapan
-------------------------------------------------------------

air matamu belum kering,
ketika terakir kali kau berteriak kesakitan minta tolong,
saat terakir kau genggam tanganku
ku rasakan jutaan kehangatan mengalir deras di kalbuku,
saat di akhir perpisahan sempat aku ucapkan kau akan kokoh dan kuat,
tapi tak selang lama aku pergi kenpa kau menjerit lagi,
KENAPA?
apa belum cukup semua penderitaan yg kau gendong,ibu......
aku akan kembali memeluk kau dan air matamu,
aku percaya kau akan bangkin seperti leluhurku yg selalu mennyerukan namamu
Indonesia......

By : Putu Wirawati
-------------------------------------------------------------

sejak dulu katanya mati
sejak dulu katanya muram
sejak dulu katanya bungkam
sejak dulu katanya lesu
sejak dulu hanya itu, itu dan itu saja
dan sejak dulu.............sebetulnya kita belum merdeka

By : Gie Wahyoe
-------------------------------------------------------------
Untuk teman-teman yang ingin mengungkapkan salam dukanya pada Indonesia, silahkan kirim puisi anda ke puisi.air@gmail.com

Salam Puisi Air

Thursday, July 16, 2009

MENDEKAP ENGGAN

Dinding ini begitu rapuh
Saat tersentuh pun akan lapuk
Selapuk cinta yang kudekap darimu

Kisah ini menggumam lelah
Saat bercerita pun akan bisu
Sebisu perasaan yang berteriak dalam hati ini

Semua ini bisa terhempas
Saat punggungmu mengecil dari tempatku terdiam
Semua ini bisa terlepas
Saat tanganmu menggenggam yang lain
Bukan malaikat tanpa sayap ini...


Di atas sana langit membentang lukisan itu
Tapi senja ini terkunci di dalam hati...
Meski mampu terlepas dari ruang yang menunggumu
Biarkan aku terkunci di sini
Biarkan aku terhunus waktu di sini
Untuk mengganti sedalam luka
Dariku pada hatimu

Di ruang ini
Dalam dinding rapuh yang berkisah tentang kita
Biarkan aku mendekap enggan
Enggan untuk membencimu...
Enggan untuk berhenti mencintaimu...
Enggan untuk melupakan semua...
Enggan untuk terlepas dari waktu...
Biarkan aku, cinta ini, dan hati yang mati ini
Terhunus waktu di sini
Hingga sayapmu mendekap...
Raga malaikat tanpa sayap...

*mEmILIH untuk tidak mencintai orang lain dan memilih untuk mencintai hanya satu orang, enggan untuk berhenti menunggu dan mencintai...*

By : himangel_lawliet

Saturday, July 11, 2009

SAJAK SEORANG PEMIMPIN

Mereka beradu
melicinkan daging dimulutnya
Berdialog melewati angin dan
Sepucuk surat tanda cinta yang
Berbicara tentang gedung dan jalan raya

Mereka
Yang bersajak mesra nan gurih riuh
Menawarkan selaut madu dan susu
Sedang batu batu
Hanya mereka buang kala di belakang layar


“Gunung gunung tumbuh di semak belukar
Pohon anggrek menjalar sudut sudut perkampungan
Padang sabana tergelar di halaman halaman
Permata menjadi hujan yang dirindukan”

Adakah mereka seperti itu?
Tanya pemulung jalanan yang menangkap sajaknya.

Sajak tetaplah sajak
Sungai tetaplah sungai
Tak bisa ia berubah menjadi laut
Yang menjanjikan kenikmatan di dalamnya

Mereka
Yang selalu melambaikan lentik lentik jemari
Kala matahari telah nampak seutuhnya
Berkomat kamit bak dukun menuang mantra
Berdendang lagu rindu di tengah terik
Merdu sana, merdu sini
Seperti gerimis yang datang di tenda perkemahan

Mereka beradu
Sajak madu dan susu muncul beribu ribu
Akal berterbangan melayang layang
Menjadi runyam di tengah gerombolan telinga


Friday, July 10, 2009

MENGENAL PUJANGGA, KAHLIL GIBRAN


You may tie my hands with chains, and my feet with shackles, and put me in the dark prison, but you shall not enslave my thinking, for it is free, like the breeze in the spacious sky...


Kahlil Gibran lahir di Basyari, Libanon dari keluarga katholik-maronit. Bsharri sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak mempengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.

Pada usia 10 tahun, bersama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di Madrasah Al-Hikmat sejak tahun 1898 sampai 1901.
Foto Kahlil Gibran oleh Fred Holland Day, skt. 1898.

Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab.

Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.

Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena TBC.

Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena TBC. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal.

Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya.

Amerika Serikat


Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.

Sebelum tahun 1912 "Broken Wings" telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya.

Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.

Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika.

Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat.

Karya dan kepengarangan

Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.

Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.

Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Kematian

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

Thursday, July 9, 2009

KAMI MENANTI

Indonesia memulai permainan lagi. Mulai melangkah ke awal yang baru atau malah melanjutkan yang lama. Semua tergantung kartu mana yang akan dibuka sebagian besar rakyat ini. Kita akan menanti... menebak jalan yang kan ditemui.

Di sini hari tak ikut larut dalam pilihan. Angin memilih diam ketika mentari menyengat semua. Burung yang kemarin datang tak muncul. Pergikah? akankah kembali? Aku merindukannya, juga suaranya pada dunia. Untuk menemaniku merajut jalan untuk Puisi Air hari ini.


Karya delapan penulis telah diterbitkan di sini. Semoga esok ada yang kesembilan, kesepuluh dan seterusnya. Kami menanti kalian untuk mengisi ruang-ruang kosong di sini dengan karya dari hati.

Tuesday, July 7, 2009

SELAMANYA

Ragamu, serupa serpihan rembulan
terjatuh…merapuh
redupmu bergemilang hilang
meruang dermaga kisah

Menanti naluri yang berlari
temaram senja menghamba puja
mentari yang bejat telah wafat
pundakmu terdiam menikam kelam
jauh ku bersandar, terhenti ku terkapar


tetaplah di situ…
tawa telah terluka
rindu telah pilu
arti telah mati
PERGILAH…
Untuk cinta yang meniada, hampa…
SELAMANYA…
Untuk mimpi abadiku
untuk SELAMANYA YANG PERCUMA

Monday, July 6, 2009

YANG MEMBERIKU SAYAP


Aku menatap langit yang menghanyutkanku bersama awan
Di atas sebuah lautan bersama kehidupan
Saat waktu menyuruhku berhenti sesaat
Meninggalkanku tanpa sayap
Untuk belajar melihat ketiadaan


Mungkin ku kan tetap seperti itu
Andai kau tak berikan sayap untukku
Mungkin ku kan tetap bersama ketiadaan
Andai kau tak memintaku melanjutkan perjalanan

Sebuah cerita kan kutulis bersama sayapmu
Meski harus kukorbankan lagi sayap ini untuk terbang

Sunday, July 5, 2009

DAN MATI


Rebah memangku jiwa yang lelah
Tatapan bodoh menyusuri langit yang tak bercelah
Langit…
Hamparan abadi yang menanti
Kapan perasaan ini mati…

Semua luruh mengepakkan sayap penuh harap
Menukik langit yang jauhi jiwa ini
Tetap terdiam memeluk kelam
Tetap bersenandung menghitung malam
Membujuk…
Kapan perasaan ini mati…


Malaikat tanpa sayap takkan mendekap
Akhir dari langit yang berakhir
Hanya meratapi semua yang berhembus ke langit
Hanya memungut…
Reruntuhan sayap-sayap hitam yang kelam
Menanti…
Kapan perasaan ini mati…

Yang dinanti telah kembali…
Dengan elok sayapnya…
Tapi nampak malaikat bersayap hitam
Tersenyum manis,merangkul iblis…
Masihkah harus bertanya…
Kapan perasaan ini mati…

Malaikat yang dinanti telah kembali
Kembali, tepat di sini…
Tapi kembali tanpa hati…
Hati yang berjanji akan abadi tanpa mati…
Hati yang menyentuh jiwa ini…
Hati yang melebur mimpi dan abadi…
Hati yang meredup…
Dan mati….

Friday, July 3, 2009

DUA SISI

Aku yang terlahir telanjang..putih tiada noda
ku awali salam tangisan menyapa dunia..
kumandang...doa..menyentuh dinding inderaku
betapa sucinya aku...
Aku tergeliat dari tidur rahim ibuku..
tak satupun yang menemani..
sendiri dan sepi..
hanya usapan lembut yang kurasa dari dinding bilikku
Oh...betapa aku ada yang tak mampu melihat
hanya sedikit yang kurasa
semampu yang kubisa
meresapi belaian kasih yang masih asing bagiku..


Peluk cium dekapan hangat dan usapan demi usapan
menyentuh kulit tubuhku..aku hanya tergeliat
inikah duniaku...
inikah dunia lain itu...???
Tempat yang akan kupijak meniti hari
meniti titian cerita hidupku..
merangkai alur-alur hari-hariku...
dan...melumuri tubuh suciku dengan dosa...
Aku tak sanggup menepis..
aku tak kuasa menolak..
dan akupun tak kuasa menghindar...
Dosa itu menumpuk daki di tubuhku
sehingga kini...
tak mampu kebersihkan diri dengan tobatpun
serta untaian - untaian doa di setiap tidurku...
Jika ku tahu..
terlahir hanya berlimpah dosa..
terlahir hanya mengotori surga ibuku..
aku sesali terlahir karena itu...

Ibu ampuni aku....

By : Ngoerah Slank

SATU CERITA

Tiada cerita tanpa kata
Seperti hidup tanpa cerita

Dan ada seorang anak menutup mata
Karena semua ia lihat hampa
Tanpa makna dan tak nyata
Karena banyak cerita ingin mengubah ceritanya
Tanpa peduli siapa sutradaranya

Melangkah pelan si anak ke dunianya
Kembali pada ceritanya
Menutup pintu untuk cerita lainnya
Agar bisa menghias cerita kecilnya
Dari hati kecilnya
Dengan tangan kecilnya

by : O_chan

Thursday, July 2, 2009

SENJA INI TAK SAMA

Menelusuri jalan yang sama
Menatap langit yang sama
Tapi kenapa perasaan ini berbeda?
”Waktu itu” langit tampak lebih tinggi
Harapan terasa begitu jauh
Terselubungi kehampaan, rapuh...
Raga ini malaikat tanpa sayap, kau tahu?
”Waktu ini” mengganti ”waktu itu”
Langit menjadi bentangan indah
Melukis elok sayapmu
Bentangan yang mendekap
Raga malaikat tanpa sayap ini...
Adakah kehangatan yang terasa sebelumnya?
Raga ini malaikat tanpa sayap
Mungkin enggan terluka, menepis cinta
Selapuk hampa terdekap enggan
Enggan untuk terluka, enggan untuk mencinta
Tapi kenapa sayapmu mendekap sekali lagi?
Mengulur enggan, memuja cinta
Mungkin cinta pertama
Mungkin cinta yang sederhana
Mungkin cinta yang takkan pernah terduga
Tapi pasti...
Pasti sayapmu yang mendekap raga ini
untuk selamanya...

Wednesday, July 1, 2009

MIMPI ORANG AUTIS

Aku tidak hidup
Aku hanya bermimpi

Aku bermimpi dan mendengar nyatanya mimpi
Dari mulut orang dalam mimpi
Katanya ini bukan mimpi

Ku bagai mengambil awan yang kukira kapas
Ternyata air lalu menguap lepas
Atau mungkin ku hanya ingin terbebas dari nyata
Yang selalu sisakan luka.

Aku ingin mau jadi autis
Yang sendiri dan ingin orang kikis
Mungkin juga ku sudah autis
Dan diriku ingin terkikis

by : O_chan

HANYA PERLU WAKTU

Untuk bisa sesuatu kita perlu waktu
Untuk bisa memaafkan orang lain kita butuh waktu
Untuk bisa dimaafkan orang lain pun kita butuh waktu
Untuk mengkoreksi segala sesuatu kita butuh waktu
Untuk menjadi yang terbaik kita butuh waktu
Untuk membuat sesuatu kita butuh waktu
Untuk menghancurkan sesuatu kita butuh waktu
Untuk menjadi sedih kita perlu waktu
Untuk menjadi bahagia kita perlu waktu
Untuk menjadi sukses kita butuh waktu
Untuk menjadi hancur kita butuh waktu
Untuk mencintai orang lain kita butuh waktu
Untuk dapat dicintai seseorang kita butuh waktu
Untuk dapat mengambil keputusan kita butuh waktu
Untuk memahami orang lain kita butuh waktu
Untuk dapat dipahami orang lain kita butuh waktu
Untuk dapat mengerti sesuatu kita perlu waktu
Untuk dapat tumbuh dewasa kita perlu waktu
Untuk bisa sembuh dari segala kesakitan kita perlu waktu
Untuk bisa sakit kita perlu waktu

Jadi..bersabarlah karena segala sesuatunya kita hanya butuh WAKTU.....

by: beltagobelgobel

Followers

LANGGANAN

Kami kirim puisi kami secara gratis langsung ke email anda. Silahkan isi formulir di bawah ini untuk berlangganan

Enter your email address: